TEORI KEMAJEMUKAN INDONESIA
A. Kondisi Masyarakat Indonesia
Corak majemuk yang ada pada masyarakat di Indonesia membawa konsekuensi tersendiri dalam kehidupan sosial antar suku bangsa yang ada di dalamnya. Beraneka ragam corak kebudayaan yang dimiliki sukubangsa-sukubangsa di Indonesia terjalin dalam suatu struktur interaksi yang merupakan perwujudan dari hubungan antar sukubangsa tersebut yang selanjutnya menciptakan dan memantapkan batas-batas sosial antara satu suku bangsa dengan sukubangsa lainnya dan merupakan pembeda satu kebudayaan sukubangsa.
B. Teori Konflik Dalam Sistem Sosial
Menurut Suparlan, seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto (2003), multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau orang perorang dan perbedaan budaya. Perbedaan budaya mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas.
1. Teori Fungsional Struktural (Talcott Parsons)
Robert Nisbet menyatakan : "Jelas bahwa fungsionalisme structural adalah satu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang" (Turner dan Mayarski, 1979).
Teori ini ialah sudut pendekatan yang menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya , terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai, norma dan aturan kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Karena sifatnya demikian, maka aliran pemikiran ini disebut sebagai integration approach, order approach, equilibrium approach atau lebih populer disebut structural-functional approach .
Anggapan Dasar Teori Fungsional Struktural
Anggapan atau teori dasar, teori dasarnya yaitu :
1. Masyarakat adalah suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan
2. Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik (saling mempengaruhi)
3. Secara fundamental, sistem sosial cenderung bergerak kearah equilibrium dan bersifat dinamis
4. Disfungsi/ ketegangan sosial/ penyimpangan pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi
5. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial bersifat gradual melalui penyesuaian. Bukan bersifat revolusioner
6. perubahan terjadi melalui 3 macam kemungkinan:
· Penyesuaian system sosial terhadap perubahan dari luar (extra systemic change)
· Pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional
· Pememuan baru oleh anggota masayarakat
7. Faktor terpenting dalam INTEGRASI adalah KONSENSUS
Pendekatan Fungsionalisme Struktural awalnya muncul dari cara melihat masyarakat dengan dianalogikan sebagai organisma biologis. Auguste Comte dan Herbert Spencer melihat adanya interdependensi antara organ-organ tubuh kita yang kemudian dianalogikan dengan masyarakat. Sebagaimana alasan-alasan yang dikemukakan Herbert Spencer sehingga mangatakan masyarakat sebagai organisma sosial adalah:
a) Masyarakat itu tumbuh dan berkembang dari yang sederhana ke yang kompleks
b) Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat berjalan secara perlahan atau evolusioner
c) Walaupun institusi sosial bertambah banyak, hubungan antarsatu dan lainnya tetap dipertahankan kerena semua institusi itu berkembang dari institusi yang sama
d) Seperti halnya bagian dalam organism biologi, bagian-bagian dalam organisma sosial itu memiliki sistemnya sendiri (subsistem) yang dalam beberapa hal tertentu dia berdikari.
Pokok pikiran inilah yang melatar belakangi lahirnya pendekatan fungsionalisme-struktural yang kemudian mencapai tingkat perkembangannya yang sangat berpengaruh dalam sosiologi Amerika, khususnya di dalam pemikiran Talcott Parsons (1902-1979).
2. Teory Alternative
Dalam melihat akar msalah konflik yang terjadi di beberapa daerah dibelikan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra (2001). Dikatan pluralitas etnik, agama, dan budaya tidak selalu menimbulkan konfli, malah sebaliknya seringkali justru memperkuat integrasi, karena perbedaan perbedaan yang ada walau saling berlawanan namun juga saling mengisi. Karena itu, Heddy berpandangan bahwa pandangan yang menyatakan SARA merupakan factor penyebab konflik harus ditinjau kembali.
Heddy mengajukan teori alternative utuk menjelaskan berbagai konflik dan kerusuhan missal, yaitu teory kondisi sosial atau teory rumput kering, teori ini dibangun atas sejumlah asumsi atau anggapan dasar. Pertama, bahwa berbagai ancam peristiwa atau gejala sosial budaya termasuk di dalamnya konflik dan kekerasan pada dasarnya tidak lahir dari sebuah kekosongan sosial budaya, tetapi dari kondisi-kondisi tertentu yang ada dalam masyarakat. Kondisi-kondisi ini bervariasi namun tidak tanpa batas, sehingga jumlahnya juga tidak akan sangat banyak dan area itu generalisasinya. Kedua, kondisi-kondisi dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari sebuah proses sejarah yang bersifat khusus yang tidak dialami persis oleh masyarakat yang lain. Ketiga, tidak semua kondisi sosial budaya yang ada memberikan sumbangan yang sama besarnya untuk memunculkan suatu gejala atau peristiwa sosial budaya tertentu. Kondisi primer adalah kondisi yang dianggap secara langsung memberikan sumbangan terjadinya suatu gejala dalam hal ini adalah kekerasan dalam suatu masyarakat, sedangkan dalam kondisi sekunder adalah kondisii yang dianggap tidak secara langsung memberikan sumbangan atau pengaruh terhadap terjadinya suatu gejala. Keempat, kondisi-kondisi sosial budaya ini lebih-lebih memungkinkan kita memberikan penjelasan yang didasarkan fakta-fakta empiris serta melakukan penelitian empiris untuk memeberikan kebenaran penjealasan tersebut dibandingkan dengan kita menggunakan teori yang lain.
Tabel teory alternative
PERISTIWA KONFLIK/KERUSUHAN MASSAL | |
Kondisi – kondisi primer | Kondisi-kondisi sekunder |
1. Terdesaknya akses kelompok tertentu ke kekuasaan dan sumber daya. | 1. Rasa keadilan masyarakat setempat tidak terpenuhi |
2. Keterdesakan terjadi melelui proses yang dianggap tidak adil. | 2. Aparat pemerintah yang tidak pekah terhadap kondisi genting masyarakat |
3. Penguasa baru atas akses dan sumber daya adalah pendatang. | 3. Aparat pemerintahan yang memihak-/menguatkan salah satu kelompok |
4. Para pendatang berbeda suku, agama, dan ras | 4. Kesadaran kesatuan bangsa yang masih lemah |
5. Enosentrisme dan aksklusivisme | 5. Pengetahuan budaya local yang sangat kuat |
1 Comments
Ni teorinya Trus studi kasusnya mana?
BalasHapus